Kiamat Komputer WannaCry: Mengungkap Sejarah Serangan Ransomware yang Melumpuhkan Dunia


Kiamat Komputer WannaCry – Pernah kebayang nggak, lagi kerja santai di hari Jumat, tiba-tiba layar komputer Anda berubah total? Bukan blue screen, tapi sebuah pesan merah yang mengancam: “File Anda telah dienkripsi!” dan meminta tebusan $300 dalam Bitcoin.
Ini bukan adegan film hacker. Ini adalah kenyataan pahit yang terjadi pada Jumat Kelabu, 12 Mei 2017. Hari dimulainya kiamat komputer WannaCry.
Dalam sekejap, kekacauan melanda secara global. Ini adalah serangan ransomware wannacry terbesar dan tercepat yang pernah disaksikan dunia. Rumah sakit di Inggris terpaksa menolak ambulans, pabrik mobil Renault di Prancis menghentikan produksi, dan stasiun kereta api di Jerman menampilkan layar tebusan.
Lebih dari 200.000 komputer di 150 negara lumpuh hanya dalam 24 jam. Gila, kan? Yuk, kita bedah cerita lengkapnya.
Baca Juga: Jasa Pembuatan Website Pontianak: Solusi Profesional untuk Bisnis Anda

Jadi, apa itu WannaCry? Sederhananya, ini adalah ransomware atau virus pemeras. Tugasnya ‘menyandera’ semua file Anda—dokumen kerja, foto kenangan, database penting—dengan enkripsi super kuat. Mau file-nya kembali utuh? Anda harus bayar tebusan.
Tapi, yang bikin WannaCry ini beda dan sangat ‘OP’ (Overpowered) adalah sifatnya.
WannaCry bukan cuma ransomware, tapi juga worm (cacing). Artinya, begitu ia berhasil menginfeksi satu komputer, ia akan otomatis memindai jaringan (seperti jaringan WiFi kantor atau rumah sakit) dan menyebar ke komputer lain yang rentan. Semuanya otomatis, tanpa perlu ada yang salah klik link email aneh. Inilah yang membuatnya menyebar secepat kilat, dan menjadi alasan utama mengapa insiden ini disebut sebagai kiamat komputer WannaCry.
Cerita di balik sejarah WannaCry ini lebih seru dari film thriller teknologi mana pun, karena ini melibatkan mata-mata negara, senjata siber curian, dan peretas elit.
Semua ini dimulai dari “senjata” digital super canggih yang dibuat oleh Badan Keamanan Nasional AS (NSA). Nama kodenya: “EternalBlue”.
Senjata ini bukanlah virus, melainkan exploit—sebuah alat untuk membobol celah keamanan spesifik (MS17-010) yang ada di hampir semua sistem operasi Windows saat itu (terutama pada protokol SMBv1).
Masalahnya? Senjata rahasia ini dicuri.
Sebulan sebelum serangan WannaCry, sekelompok peretas misterius bernama Shadow Brokers membocorkan EternalBlue ke publik. Ibaratnya, NSA sudah susah payah bikin cetak biru rudal canggih, lalu cetak birunya dicuri dan disebar gratis di internet.
Siapa yang cukup pintar untuk mengambil cetak biru ‘rudal’ itu dan menempelkan ‘bom’ ransomware di atasnya?
Investigasi gabungan oleh AS dan Inggris akhirnya menunjuk satu nama: Lazarus Group. Ini bukan grup hacker kaleng-kaleng. Mereka adalah unit siber elit yang diyakini didanai langsung oleh Korea Utara.
Jejak digital mereka juga ditemukan di beberapa kasus peretasan terbesar lainnya, seperti peretasan Sony Pictures pada 2014 (karena film The Interview) dan perampokan Bank Sentral Bangladesh senilai $81 juta pada 2016. Salah satu programer Korea Utara, Park Jin Hyok, bahkan secara spesifik didakwa terkait pembuatan serangan WannaCry.

Begitu dilepaskan, dampak serangan WannaCry ini benar-benar brutal dan tidak pandang bulu. Ini bukan lagi soal data IT yang hilang, tapi sudah menyangkut nyawa dan operasional negara.
Studi kasus paling parah dan menyedihkan adalah kelumpuhan total Layanan Kesehatan Nasional (NHS) Inggris. Bayangkan ini: 19.000 janji temu pasien (termasuk pasien kanker) dibatalkan. Ambulans harus dialihkan secara manual ke rumah sakit lain karena sistem mati. Operasi-operasi penting terpaksa ditunda. Ini adalah kekacauan nyata yang membahayakan nyawa manusia, hanya karena sistem komputer mereka tidak di-update.
Di belahan dunia lain, dampaknya sama kacaunya:
Kerugian global ditaksir mencapai miliaran dolar. Kiamat komputer WannaCry benar-benar menunjukkan betapa rapuhnya infrastruktur digital kita.
Di tengah kepanikan global, muncullah seorang pahlawan yang sama sekali tak terduga. Namanya Marcus Hutchins, seorang peneliti keamanan siber asal Inggris berusia 22 tahun (dikenal di internet sebagai MalwareTech).
Sambil ngopi dan menganalisis kode WannaCry di kamarnya, Marcus menemukan sesuatu yang aneh. Virus itu selalu mencoba menghubungi sebuah alamat domain (alamat web) yang sangat panjang, ngawur, dan sepertinya tidak ada (belum terdaftar).
Karena penasaran (dan mungkin sedikit iseng), Marcus iseng mendaftarkan (membeli) domain itu seharga $10.
Boom!
Tanpa dia sadari, dia baru saja mengaktifkan “Kill Switch” atau tombol mati darurat WannaCry. Ternyata, pembuat virus memprogramnya begini: “Jika aku bisa menghubungi domain ini, berarti aku sedang dianalisis, maka aku harus berhenti menyebar.”
Aksi cepat Marcus seharga $10 itu secara efektif menghentikan penyebaran serangan lebih lanjut ke jutaan komputer lainnya.
Bagi kita di Harkovnet Indonesia dan bagi bisnis Anda, insiden ini adalah pengingat yang ‘menampar’ kita semua. Banyak korban berjatuhan bukan karena serangannya terlalu canggih, tapi karena kelalaian dasar dalam keamanan.
Apa pelajarannya?
Keamanan siber di era sekarang bukan lagi ‘opsional’ atau ‘nanti saja’. Ia adalah kebutuhan pokok untuk kelangsungan bisnis.

Singkatnya, kiamat komputer WannaCry adalah badai sempurna: gabungan dari senjata siber curian tingkat negara, kelalaian update massal, dan sistem yang menua.
WannaCry mungkin sudah dijinakkan oleh Marcus Hutchins, namun metode dan celah keamanan serupa (seperti EternalBlue) masih bertebaran di luar sana, menunggu untuk dieksploitasi. Pertanyaannya: Apakah bisnis Anda siap untuk serangan berikutnya?
Konsultasikan kebutuhan website dan strategi digital Anda bersama tim ahli kami.
Hubungi Kami Sekarang